Recent Comments

Rabu, 20 Juli 2016

Agama: Solusi atau Polusi?



Agama dan Kekerasan
Pada ahir tahun 2014, muncul wacana tentang penghapusan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pro-kontra pun muncul hingga saat ini. Pasalnya Agama di tengah masyarakat adalah perkara ikhwal sensi yang sarat akan kekerasan. Redaksi Cherly Hebdo Prancis luluh lantah karena intens mensuarakan satire keagamaan. Jatuhnya Andalusia, bangkitnya Contantinopel, embargo Irak-Iran, hingga perang tak berkesudahan  Palestina-Israel adalah motif politik yang didorong atas saraf berkeyakinan agama.
Mengutip komentar Harris dalam The End of Faith: Religion: Terror and the Future of Reason bahwa agama sudah semestinya ditinggalkan manusia, bukan karena alasan teologis, tetapi masih karena agama telah menjadi sumber kekerasan sekarang ini dan pada setiap zaman di masa yang lalu.
Agama yang seharusnya menjadi suluh keselamatan dan perdamaian saat ini mengalami cacat publik berbentuk kekerasan.  Agama karena kedangkalan dalam pemahaman yang semata-mata mengejawantahkan  dogma hubungan manusia dengan Tuhannya. Selanjutnya seolah mengabaikan penghormatan aturan terkait manusia dengan sesamanya.
Sulut Kekerasan
Sayogyanya dengan beragamalah permasalahan seperti kerusuhan, kekejian, kemungkaran dan kejahatan tertumpas. Agama mengajarkan kehalusan dan kesantunan dengan terus menafikkan maindset apa agamaku dan apa agamamu.
KH Wahab Chasbullah telah mencontohkan kepada kita tentang beragama dan bernegara. Beliau menjadi garda terdepan membawa Nahdlatul Ulama dalam menerima pancasila sebagai dasar Negara Indonesia. Beliau mengajarkan, yang patut dijunjung dalam beragama adalah prinsip damai, aman dan sejahtera.
Pada dasarnya manusia selalu ingin berbuat kebaikan. Dari situlah tiap-tiap individu yang terpuji dapat mempengaruhi cerminan agamanya masing-masing. Sebagai manusia yang beragama pada sejatinya eksistensinya tidak bisa untuk dipisahkan.
Namun menjadi ironis ketika ego pribadi atau kelompok dipaksakan atas nama agama. Mereka mengaduk adonan agama, ego, kelompok yang dipaksakan dengan cekokan kebenaran. Mereka mengatas namakan agama yang kemudian melahirkan nilai-nilai agama menjadi negatif.
Sekalipun agama membawa kebenaran, akan tetapi apabila menyandangnya dengan kesalahan dapat menggugurkan nilai-nilai kesakralan agama tersebut. Sehingga dapat mempengaruhi diantaranya nilai-nilai pendidikan, budaya, sosial dan yang terpenting adalah menjadikan krisis moral. Hal tersebut disebabkan adanya penyalahgunaan terhadap agama.
 Bukan lagi hal subyektif, Islam yang dikenal agama penuh perdamaian menjadi korban ‘penunggangan’ bagi kaum religius ekstrimis dan radikalisme. Dengan penuh keegoisanya tentang absolut ajaran yang diembannya dan mempengaruhi yang menjadi pengikutnya melalui doktrinal.
Menganggap semua yang tidak tergolong dari bagian mereka adalah musuh. Mengangkat senjata untuk memberantas musuh untuk melegitimasi pengunaan kekerasan, perang, dan terorisme dianggap suatu ibadah. Membunuh dan membombardir daerah lawan surga balasannya.
 Apakah itu yang dinamakan agama?. Sebuah hal yang sulit dirasionalkan. Padahal kehidupan dapat lestari dengan perdamaian. Dan mungkin itu bukan suatu agama, melainkan benih-benih komunisme yang meniadakan agama dalam wajah yang lain.
Islam Rahmatan Lil Alamin, yang tidak menafikkan perbedaan namun meng-conuter-nya menjadi keluasan dan keunggulan. Sudah menjadi kewajiban masing-masing dari kita untuk menjadi partisipan agen penyabar Islam yang santun, rukun dan halus sebagai bentuk manusia yang beradab dan memerangi kekerasan dengan kasih sayang. Bukankah begitu? 


Tidak ada komentar:
Write komentar

Recommended Posts × +