Agama dan
Kekerasan
Pada ahir tahun 2014, muncul wacana tentang penghapusan kolom agama
di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pro-kontra pun muncul hingga saat ini. Pasalnya
Agama di tengah masyarakat adalah perkara ikhwal sensi yang sarat akan
kekerasan. Redaksi Cherly Hebdo Prancis luluh lantah karena intens mensuarakan
satire keagamaan. Jatuhnya Andalusia, bangkitnya Contantinopel, embargo
Irak-Iran, hingga perang tak berkesudahan
Palestina-Israel adalah motif politik yang didorong atas saraf
berkeyakinan agama.
Mengutip komentar Harris dalam The End of Faith: Religion: Terror and the Future of
Reason bahwa agama sudah semestinya ditinggalkan manusia, bukan karena
alasan teologis, tetapi masih karena agama telah menjadi sumber kekerasan
sekarang ini dan pada setiap zaman di masa yang lalu.
Agama yang seharusnya menjadi suluh keselamatan dan perdamaian saat
ini mengalami cacat publik berbentuk kekerasan.
Agama karena kedangkalan dalam pemahaman yang semata-mata
mengejawantahkan dogma hubungan manusia
dengan Tuhannya. Selanjutnya seolah mengabaikan penghormatan aturan terkait
manusia dengan sesamanya.
Sulut Kekerasan
Sayogyanya dengan beragamalah permasalahan seperti kerusuhan,
kekejian, kemungkaran dan kejahatan tertumpas. Agama mengajarkan kehalusan dan
kesantunan dengan terus menafikkan maindset apa agamaku dan apa agamamu.
KH Wahab Chasbullah telah mencontohkan kepada kita tentang beragama
dan bernegara. Beliau menjadi garda terdepan membawa Nahdlatul Ulama dalam
menerima pancasila sebagai dasar Negara Indonesia. Beliau mengajarkan, yang
patut dijunjung dalam beragama adalah prinsip damai, aman dan sejahtera.
Pada dasarnya manusia selalu ingin berbuat kebaikan. Dari situlah
tiap-tiap individu yang terpuji dapat mempengaruhi cerminan agamanya
masing-masing. Sebagai manusia yang beragama pada sejatinya eksistensinya tidak
bisa untuk dipisahkan.
Namun menjadi ironis ketika ego pribadi atau kelompok dipaksakan
atas nama agama. Mereka mengaduk adonan agama, ego, kelompok yang dipaksakan
dengan cekokan kebenaran. Mereka mengatas namakan agama yang kemudian
melahirkan nilai-nilai agama menjadi negatif.
Sekalipun agama membawa kebenaran, akan tetapi apabila
menyandangnya dengan kesalahan dapat menggugurkan nilai-nilai kesakralan agama
tersebut. Sehingga dapat mempengaruhi diantaranya nilai-nilai pendidikan,
budaya, sosial dan yang terpenting adalah menjadikan krisis moral. Hal tersebut
disebabkan adanya penyalahgunaan terhadap agama.
Bukan lagi hal subyektif,
Islam yang dikenal agama penuh perdamaian menjadi korban ‘penunggangan’ bagi
kaum religius ekstrimis dan radikalisme. Dengan penuh keegoisanya tentang
absolut ajaran yang diembannya dan mempengaruhi yang menjadi pengikutnya
melalui doktrinal.
Menganggap semua yang tidak tergolong dari bagian mereka adalah
musuh. Mengangkat senjata untuk memberantas musuh untuk melegitimasi pengunaan
kekerasan, perang, dan terorisme dianggap suatu ibadah. Membunuh dan
membombardir daerah lawan surga balasannya.
Apakah itu yang dinamakan
agama?. Sebuah hal yang sulit dirasionalkan. Padahal kehidupan dapat lestari
dengan perdamaian. Dan mungkin itu bukan suatu agama, melainkan benih-benih
komunisme yang meniadakan agama dalam wajah yang lain.
Islam Rahmatan Lil Alamin, yang tidak menafikkan perbedaan
namun meng-conuter-nya menjadi keluasan dan keunggulan. Sudah menjadi
kewajiban masing-masing dari kita untuk menjadi partisipan agen penyabar Islam
yang santun, rukun dan halus sebagai bentuk manusia yang beradab dan memerangi
kekerasan dengan kasih sayang. Bukankah begitu?
Tidak ada komentar:
Write komentar