Memahami serta menyadari dan kemudian mempunyai sikap
untuk turut serta dalam mengisi kemerdekaan dalam segala bidang tentu hal yang
harus dikerjakan lebih-lebih dalam bidang social dimana unsure berbagi dan kepedulian
serta kebersamaan tampak begitu nyata didalamnya yang mana hal-hal itu
merupakan sifat yang dimiliki oleh para
ulama’ pejuang dan menjadi sifat-sifat dari seorang yang disebutpahlawan.
Seorang penulis Amerika yang bernama Napoleon Hill pernah berkata, Bertindak adalah
langkah yang benar dalam intelektual. Memikirkan dan ikut serta secara massif dalam agenda-agenda social modern
merupakan langkah kongkrit untuk bias
memberikan dan berkontribusi dalam mengisi
kemerdekaan, membantu dan memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat
adalah bentuk perjuangan baru yang bias dikerjakan pada era ini. Sebagaimana dikemukan
oleh bapak Irman Gusman, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini tidak menghasilkan
kesejahteraan yang merata, kepada seluruh masyarakat di Indonesia. Menurutnya,
hanya segelintir orang yang superkaya, sehingga yang miskin tambah banyak, kata
Irman di Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta Pusat, Jumat
(29/11/2013).
Ketika imperialism dan
kolonialis memenjajah Indonesia,
penduduk negeri ini tidak tinggal diam, dan terus mengadakan perlawanan.
Jombang sebagai kota santri, memiliki peran penting di dalam proses yang
panjang dalam perjuangan melawan penjajahan.
Ulama, sebagai informal
leader yang merakyat, dekat dengan rakyat, ditampilkan oleh umat islam sebagai
pemimpinnya dalam perang melawan penjajahan. Selain itu, semangat perang sabil sebagai penggerak umat untuk berani
melawan penjajah yang zhalim juga menjadi
salah satu factor gencarnya perlawanan rakyat.
Semangat perlawanan terhadap penjajah terus bergulir dari
satu daerah kedaerah lain di seluruh wilayah Nusantara termasuk Jombang yang terdapat
beberapa pesantren besar, di antaranya Pondok Pesantren Tebu Ireng dengan ulama
besarnya KH Hasyim Asyari dan KH Wahid Hasyim. Selanjutnya ada pesantren Tambakberas
yang diwakilkan oleh KH Wahab Chasbullah. Dan juga ada KH Bisyri Samsuri dari pesantren
Denanyar. Para kiyai-kiyai ini adalah beberapa tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang
ikut dan aktif dalam menggerakkan masyarakat dalam melawan penjajah di
nusantara. Tiga nama awal bahkan sudah di anugrahi Negara sebagai pahlawan nasional.
Peran serta putra terbaik Nahdlatul Ulama (NU) dalam perjuangan melawan dan mengusir
penjajahan ini terekam dalam tinta emas sejarah Indonesia.
Perjuangan yang telah dimulai oleh para tokoh pesantren ini
tidak hanya berhenti mengatarkan Republik ini sampai kepintu gerbang kemerdekaan,
tapi terus berlanjut sampai mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia dari rongrongan
kaum penjajah. Kepahlawanan para kiyai dan pesantren menemui titik puncaknya pada
peristiwa 10 november yang diabadikan sebagai Hari Pahlawan. Sebagaimana diceritakan
KH Saifuddin Zuhri dalam sejarah kebangkitan islam dan perkembangannya di
Indonesia (Al-Ma’rif, Bandung 1981), KH Hasyim Asy’ari memanggil kiai Wahab Chasbullah,
Kiai Bisri Syamsuri dan para kiyai lainnya untuk mengumpulkan para kiyai
se-Jawa dan Madura atau utusan cabang Nahdlatul Ulama (NU) untuk berkumpul di
Surabaya, tepatnya dikantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANU) di Jl. Bubutan
VI/2. Namum pada tanggal 21 oktober para kiyai baru bias berkumpul. Setelah semua
kiai berkumpul, segera diadakan rapat darurat yang langsung dipimpin oleh Kiai Wahab
Chasbullah. Pada tanggal 23 oktober Mbah
Hasyim atas nama Rois Akbar organisasi Nahdlatul Ulama mendeklarasikan sebuah seruan
Jihad Fi Sabilillah (berjuang dijalan Allah) yang belakangan terkenal dengan istilah
Resolusi Jihad. Bung Tomo mendengar Resolusi Jihad yang diucapkan Mbah Hasyim langsung
menggerakkan massa yang mencapai puncaknya pada tanggal 10 november 1945. Bisa disimpulkan,
bila seandainya Mbah Hasyim tidak mengumpulkan para ulama dan mengeluarkan Resolusi
Jihad maka tidak akan ada aksi heroic tanggal 10 november 1945 dibumi pahlawan Surabaya.
Perjuangan secara definitive
adalah sebuah usaha yang penuh kesukaran dan bahaya, akan menjadi semangat serta
sikap hidup setiap manusia yang memahami peran dan tanggung jawabnya. Terlebih seseorang
dengan kapasitas keilmuan yang tinggi
tentu mendorongnya menjadi pribadi yang peduli terhadap kondisi zaman serta rela
mati demi sesuatu yang diperjuangkan. Seperti generasi sebelumnya, putera terbaik
pesantren kembali tampil kepermukaan menyelamatkan Indonesia pada masa transisi dari masa orde baru kezaman revolusi. Dipolopori oleh KH Abdurrahman
wahid (Gus dur), Emha Ainun Najib (cak Nun), Nur Cholis Majid (CakNur), mereka langsung
menghadapi raja diatas rajanya orde baru presiden Suharto dan menawarkan sebuah
konsep yang dikenal dengan sebutan khusnul khotimah. Padahal pada saat itu,
kekuasaan pak harto sangatlah kuat, tak ada peluru yang keluar dari moncong senapan
yang tidak diketahui olehnya. Namun Gus dur dengan gaya khasnya berkata, jika ingin
melakukan perubahan maka jangan tunduk pada kenyataan, asalkan yakin berada dijalan
yang benar. Konflik yang berlatarkan politik
kekuasaan dan kepentingan ini bias diatasi dengan lancar tanpa harus menumpahkan
banyak korban dimasyarakat. Munculnya kembali putera terbaik pesantren kepermukaan
perpolitikan Indonesia membuktikan begitu besarnya peran pesantren dalam merebut
kemerdekaan serta menjaga kedaulatan bangsa Indonesia. Dan ini juga sebuah bukti
bahwa pesantren tak pernah berhenti melahirkan tokoh-tokoh besar Indonesia.
Pesantren memiliki peran politik yang besar ketika Negara ini mau berdiri dan setelah
Negara berdiri sampai saat ini. Terutama dalam revolusi kemerdekaan dan juga dalam
perundingan yang krusial dengan Belanda baik Perundingan Renville, Perjanjian Linggarjati
maupun Konferensi Meja Bundar. Dalam peristiwa itu, Kiai Wahab salah satu putera
terbaik pesantren menunjukan kepiawaiannya sebagai politisi pesantren masyarakat
pribumi yang mampu mengalahkan politisi berpendidikan belanda.
Karena itu saya kata kan tadi, pesantren mempunyai peran
yang sangat sentral dalam mendirikan dan menjaga Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Tetapi nampaknya sejarah masih terlalu pelit mencatat perjuangan tokoh-tokoh
dari pesantren. Bukan ingin dihargai, sangat disayangkan pemikiran-pemikiran dan
perjuangan yang dilandasi pada rasa ikhlas, tanpa pamrih, murni karena rasa
cinta kepada Negara tidak dipublikasikan dan dibaca masyarakat luas terutama bagi
calon-calon pemimpin negeri ini.
Gema muktamar Nahdlatul Ulama ke 33 di Jombang telah berdengung keseluruh plosok negeri.
Media massa berebut menampilkan berita terhangat dan terbaru dari organisasi
masyarakat terbesar di Nusantara ini. Bahkan terkadang beritanya terkesan
sedikit ngawur. Namun, siapa peduli ?. Moment ini hanya bisa disantap 5 tahun
sekali. Menutupi kerugian perusahan inilah waktunya.
Semua pada sibuk menghadapi muktamar, dari bupati sampai
para kuli-kuli. Dari pengurus NU lama sampai pengurus jadi-jadian. Berebut
mencari bati dari event 5 tahun
sekali ini. Sungguh memilukan. Ketua DPRD Jawa Timur Drs. Halim Iskandar
berkata, pada saat muktamar banyak pengurus NU yang mendadak rajin mengurus NU.
Tapi, sebenarnya mereka bukan ngurusi
NU melainkan malah ngrusui NU.
Melihat permasalahan yang dihadapi NU saat ini, saya jadi
teringat cerita dari dua kekasih Allah yaitu Musa dan Harun. Amunisi apa yang
pertama kali diminta Musa saat diberi tugas maha berat menda’wahi ayah
angkatnya sendiri yang durjana level 4?
Satu set alusista? Modal bermilyar? Satu peleton pasukan
inventeri? Satu korps kavaleri?Tongkat mukjizat?
Tidak, tongkat itu Allah yang beri tanpa Musa minta.
Tetapi, Musa minta Harun agar menemaninya. Sebab Musa tahu
bahwa jalan didepan akan penuh liku tanjak.Apakah mereka selalu rukun dan canda
tawa? Tidak juga. Bahkan pernah Musa saking kesalnya Ia pada Harun, hampir
meninjunya. Saat ia titipkan kaum Israil pada Harun, Harun gagal laksanakan
tugas. (QS 20: 92-94).
Kita, tidak ada yang sekuat Musa. Tetapi Firaun sipresiden
dzalim, Qorun kapitalis serakah, Hamman pejabat busuk, dan Samiri kiyai ilmuan
sesat saat ini telah terkloning
sedemikian jumlahnya. Maka kita lebih butuh bersama dibanding butuhnya Musa pada
Harun. Itulah ukhuwah.
Dan hari ini kita memaknai ukhuwah sebatas makan-makan bersama, canda dan tawa. Atau sebatas
ucapan Barakallah disaat ada rekan
yang milad, wisuda atau menggenap.
Sedang Harun, ia membersamai Musa bahkan saat keadaan
begitu mencekam: didepan laut dibelakang pasukan Firaun menjegal. Bahkan saat
musa marah sekalipun. Mereka tetap bersama perjuangkan kebenaran. Harun
mengajarkan kita bahwa ukhuwah adalah
bersama dalam cahaya apapun kondisinya. Bukan hanya sama-sama gembira dalam
canda tawa. Mbah hasyim, Mbah wahab dan Mbah bisri sudah membuktikannya. Tiga
serangkai ini adalah ruh dan nafas NU. Walaupun berdebat hebat masalah fiqih
tapi ketika menyangkut masalah menghormati dan menghargai yang lain, mereka
rebutan mengalah dan mendahulukan kan yang lain. Sebuah fenomena yang harus
terus kita kaji, resapi, dan terapi.
Tulisan ini mencoba menghadir kembali sebuah fragmen sejarah masa lalu para kekasih
Allah dan dunia pesantren dalam konteks kekinian agar mudah dipahami dan
sekaligus relevan dalam menghadapi
persoalaan yang dihadapi Negara tercinta ini. Cerita ketokohan dan kepahlawanan
kapan pun akan menjadi inspirasi pada
pembacanya, jangan kan kawan atau pun pendukung. Musuh pun bisa mengambil
banyak hikmah dan pelajaran dari lawan yang tangguh. Karena itu lawan yang
tangguh lebih baik dari kawan yang baik tapi menikam dari belakang. Pena memang
luar biasa, goresan nya bisa menjadikan ajaran dikemudian hari dan diartikan
sebagai kebenaran. Walaupun itu hanya peng-abadian sebuah pemikiran.
Kitab-kitab suci atau pun kitab-kitab resi adalah pikiran pujangga yang
diabadikan.
”Jadilah
penulis yang menyampaikan sesuatu dengan sederhana”
Tidak ada komentar:
Write komentar