Recent Comments

Rabu, 20 Juli 2016

Pesantren (NU) Sebagai Pilar Kejayaan Bangsa


Memahami serta menyadari dan kemudian mempunyai sikap untuk turut serta dalam mengisi kemerdekaan dalam segala bidang tentu hal yang harus dikerjakan lebih-lebih dalam bidang social dimana unsure berbagi dan kepedulian serta kebersamaan tampak begitu nyata didalamnya yang mana hal-hal itu merupakan sifat  yang dimiliki oleh para ulama’ pejuang dan menjadi sifat-sifat dari seorang yang disebutpahlawan. Seorang penulis Amerika yang bernama Napoleon Hill pernah berkata, Bertindak adalah langkah yang benar dalam intelektual. Memikirkan dan ikut serta secara massif dalam agenda-agenda social modern merupakan langkah kongkrit untuk bias memberikan dan berkontribusi dalam mengisi kemerdekaan, membantu dan memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat adalah bentuk perjuangan baru yang bias dikerjakan pada era ini. Sebagaimana dikemukan oleh bapak Irman Gusman, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini tidak menghasilkan kesejahteraan yang merata, kepada seluruh masyarakat di Indonesia. Menurutnya, hanya segelintir orang yang superkaya, sehingga yang miskin tambah banyak, kata Irman di Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2013).
Ketika imperialism dan kolonialis memenjajah Indonesia, penduduk negeri ini tidak tinggal diam, dan terus mengadakan perlawanan. Jombang sebagai kota santri, memiliki peran penting di dalam proses yang panjang dalam perjuangan melawan penjajahan.
Ulama, sebagai informal leader yang merakyat, dekat dengan rakyat, ditampilkan oleh umat islam sebagai pemimpinnya dalam perang melawan penjajahan. Selain itu, semangat perang sabil sebagai penggerak umat untuk berani melawan penjajah yang zhalim juga menjadi salah satu factor gencarnya perlawanan rakyat.
Semangat perlawanan terhadap penjajah terus bergulir dari satu daerah kedaerah lain di seluruh wilayah Nusantara termasuk Jombang yang terdapat beberapa pesantren besar, di antaranya Pondok Pesantren Tebu Ireng dengan ulama besarnya KH Hasyim Asyari dan KH Wahid Hasyim. Selanjutnya ada pesantren Tambakberas yang diwakilkan oleh KH Wahab Chasbullah. Dan juga ada KH Bisyri Samsuri dari pesantren Denanyar. Para kiyai-kiyai ini adalah beberapa tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang ikut dan aktif dalam menggerakkan masyarakat dalam melawan penjajah di nusantara. Tiga nama awal bahkan sudah di anugrahi Negara sebagai pahlawan nasional. Peran serta putra terbaik Nahdlatul Ulama (NU) dalam perjuangan melawan dan mengusir penjajahan ini terekam dalam tinta emas sejarah Indonesia.
Perjuangan yang telah dimulai oleh para tokoh pesantren ini tidak hanya berhenti mengatarkan Republik ini sampai kepintu gerbang kemerdekaan, tapi terus berlanjut sampai mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia dari rongrongan kaum penjajah. Kepahlawanan para kiyai dan pesantren menemui titik puncaknya pada peristiwa 10 november yang diabadikan sebagai Hari Pahlawan. Sebagaimana diceritakan KH Saifuddin Zuhri dalam sejarah kebangkitan islam dan perkembangannya di Indonesia (Al-Ma’rif, Bandung 1981), KH Hasyim Asy’ari memanggil kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para kiyai lainnya untuk mengumpulkan para kiyai se-Jawa dan Madura atau utusan cabang Nahdlatul Ulama (NU) untuk berkumpul di Surabaya, tepatnya dikantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANU) di Jl. Bubutan VI/2. Namum pada tanggal 21 oktober para kiyai baru bias berkumpul. Setelah semua kiai berkumpul, segera diadakan rapat darurat yang langsung dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah. Pada tanggal  23 oktober Mbah Hasyim atas nama Rois Akbar organisasi Nahdlatul Ulama mendeklarasikan sebuah seruan Jihad Fi Sabilillah (berjuang dijalan Allah) yang belakangan terkenal dengan istilah Resolusi Jihad. Bung Tomo mendengar Resolusi Jihad yang diucapkan Mbah Hasyim langsung menggerakkan massa yang mencapai puncaknya pada tanggal 10 november 1945. Bisa disimpulkan, bila seandainya Mbah Hasyim tidak mengumpulkan para ulama dan mengeluarkan Resolusi Jihad maka tidak akan ada aksi heroic tanggal 10 november 1945 dibumi pahlawan Surabaya.
Perjuangan secara definitive adalah sebuah usaha yang penuh kesukaran dan bahaya, akan menjadi semangat serta sikap hidup setiap manusia yang memahami peran dan tanggung jawabnya. Terlebih seseorang dengan kapasitas keilmuan yang tinggi tentu mendorongnya menjadi pribadi yang peduli terhadap kondisi zaman serta rela mati demi sesuatu yang diperjuangkan. Seperti generasi sebelumnya, putera terbaik pesantren kembali tampil kepermukaan menyelamatkan Indonesia pada masa transisi dari masa orde baru kezaman revolusi. Dipolopori oleh KH Abdurrahman wahid (Gus dur), Emha Ainun Najib (cak Nun), Nur Cholis Majid (CakNur), mereka langsung menghadapi raja diatas rajanya orde baru presiden Suharto dan menawarkan sebuah konsep yang dikenal dengan sebutan khusnul khotimah. Padahal pada saat itu, kekuasaan pak harto sangatlah kuat, tak ada peluru yang keluar dari moncong senapan yang tidak diketahui olehnya. Namun Gus dur dengan gaya khasnya berkata, jika ingin melakukan perubahan maka jangan tunduk pada kenyataan, asalkan yakin berada dijalan yang benar. Konflik yang berlatarkan  politik kekuasaan dan kepentingan ini bias diatasi dengan lancar tanpa harus menumpahkan banyak korban dimasyarakat. Munculnya kembali putera terbaik pesantren kepermukaan perpolitikan Indonesia membuktikan begitu besarnya peran pesantren dalam merebut kemerdekaan serta menjaga kedaulatan bangsa Indonesia. Dan ini juga sebuah bukti bahwa pesantren tak pernah berhenti melahirkan tokoh-tokoh besar Indonesia. Pesantren memiliki peran politik yang besar ketika Negara ini mau berdiri dan setelah Negara berdiri sampai saat ini. Terutama dalam revolusi kemerdekaan dan juga dalam perundingan yang krusial dengan Belanda baik Perundingan Renville, Perjanjian Linggarjati maupun Konferensi Meja Bundar. Dalam peristiwa itu, Kiai Wahab salah satu putera terbaik pesantren menunjukan kepiawaiannya sebagai politisi pesantren masyarakat pribumi yang mampu mengalahkan politisi berpendidikan belanda.
Karena itu saya kata kan tadi, pesantren mempunyai peran yang sangat sentral dalam mendirikan dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi nampaknya sejarah masih terlalu pelit mencatat perjuangan tokoh-tokoh dari pesantren. Bukan ingin dihargai, sangat disayangkan pemikiran-pemikiran dan perjuangan yang dilandasi pada rasa ikhlas, tanpa pamrih, murni karena rasa cinta kepada Negara tidak dipublikasikan dan dibaca masyarakat luas terutama bagi calon-calon pemimpin negeri ini.
Gema muktamar Nahdlatul Ulama ke 33 di Jombang  telah berdengung keseluruh plosok negeri. Media massa berebut menampilkan berita terhangat dan terbaru dari organisasi masyarakat terbesar di Nusantara ini. Bahkan terkadang beritanya terkesan sedikit ngawur. Namun, siapa peduli ?. Moment ini hanya bisa disantap 5 tahun sekali. Menutupi kerugian perusahan inilah waktunya.
Semua pada sibuk menghadapi muktamar, dari bupati sampai para kuli-kuli. Dari pengurus NU lama sampai pengurus jadi-jadian. Berebut mencari bati dari event 5 tahun sekali ini. Sungguh memilukan. Ketua DPRD Jawa Timur Drs. Halim Iskandar berkata, pada saat muktamar banyak pengurus NU yang mendadak rajin mengurus NU. Tapi, sebenarnya mereka bukan ngurusi NU melainkan malah ngrusui NU.
Melihat permasalahan yang dihadapi NU saat ini, saya jadi teringat cerita dari dua kekasih Allah yaitu Musa dan Harun. Amunisi apa yang pertama kali diminta Musa saat diberi tugas maha berat menda’wahi ayah angkatnya sendiri yang durjana level 4?
Satu set alusista? Modal bermilyar? Satu peleton pasukan inventeri? Satu korps kavaleri?Tongkat mukjizat? Tidak, tongkat itu Allah yang beri tanpa Musa minta.
Tetapi, Musa minta Harun agar menemaninya. Sebab Musa tahu bahwa jalan didepan akan penuh liku tanjak.Apakah mereka selalu rukun dan canda tawa? Tidak juga. Bahkan pernah Musa saking kesalnya Ia pada Harun, hampir meninjunya. Saat ia titipkan kaum Israil pada Harun, Harun gagal laksanakan tugas. (QS 20: 92-94).
Kita, tidak ada yang sekuat Musa. Tetapi Firaun sipresiden dzalim, Qorun kapitalis serakah, Hamman pejabat busuk, dan Samiri kiyai ilmuan sesat saat ini telah terkloning sedemikian jumlahnya. Maka kita lebih butuh bersama dibanding butuhnya Musa pada Harun. Itulah ukhuwah.
Dan hari ini kita memaknai ukhuwah sebatas makan-makan bersama, canda dan tawa. Atau sebatas ucapan Barakallah disaat ada rekan yang milad, wisuda atau menggenap.
Sedang Harun, ia membersamai Musa bahkan saat keadaan begitu mencekam: didepan laut dibelakang pasukan Firaun menjegal. Bahkan saat musa marah sekalipun. Mereka tetap bersama perjuangkan kebenaran. Harun mengajarkan kita bahwa ukhuwah adalah bersama dalam cahaya apapun kondisinya. Bukan hanya sama-sama gembira dalam canda tawa. Mbah hasyim, Mbah wahab dan Mbah bisri sudah membuktikannya. Tiga serangkai ini adalah ruh dan nafas NU. Walaupun berdebat hebat masalah fiqih tapi ketika menyangkut masalah menghormati dan menghargai yang lain, mereka rebutan mengalah dan mendahulukan kan yang lain. Sebuah fenomena yang harus terus kita kaji, resapi, dan terapi.
Tulisan ini mencoba menghadir kembali sebuah fragmen sejarah masa lalu para kekasih Allah dan dunia pesantren dalam konteks kekinian agar mudah dipahami dan sekaligus relevan dalam menghadapi persoalaan yang dihadapi Negara tercinta ini. Cerita ketokohan dan kepahlawanan kapan pun akan menjadi inspirasi pada pembacanya, jangan kan kawan atau pun pendukung. Musuh pun bisa mengambil banyak hikmah dan pelajaran dari lawan yang tangguh. Karena itu lawan yang tangguh lebih baik dari kawan yang baik tapi menikam dari belakang. Pena memang luar biasa, goresan nya bisa menjadikan ajaran dikemudian hari dan diartikan sebagai kebenaran. Walaupun itu hanya peng-abadian sebuah pemikiran. Kitab-kitab suci atau pun kitab-kitab resi adalah pikiran pujangga yang diabadikan.


”Jadilah penulis yang menyampaikan sesuatu dengan sederhana”




Tidak ada komentar:
Write komentar

Recommended Posts × +