Recent Comments

Selasa, 12 Juli 2016

Jangan takut merantau


Hidup akan mengecil dan membesar sesuai dengan keberanian kita. The Diary of Anais Nin.
Bila melihat hajat besar umat islam Indonesia yang rutin dilakukan setiap Idul Fitri yakni mudik. Setidaknya ada beberapa hal yang menggambar kehidupan sosial masyarakat kita. Pertama, nilai kekeluargaan yang kuat dalam tradisi mudik. Merayakan hari kemenangan begitu terasa bearti bersama keluarga besar. Jadi wajar, ribuan orang rela antri berjam-jam untuk mendapatkan tiket kereta api, tidak takut ancaman macet sepenjang jalan, lelah, capek, jauh nya jarak, semua sirna bersama angan-angan bertemu keluarga, bercerita bersama, foto selfie, tertawa bareng. Pada ahirnya, dinding Facebook, Line, status Bbm, WA semua bercerita tentang keluarga nya masing-masing lewat tulisan panjang atau sekedar foto bareng. Kedua, mudik miniatur dari masyarakat Indonesia yang suka merantau, beranjak dari kampung halaman menuju negeri lain dalam rangka merubah hidup lewat pendidikan dan pekerjaan. Namun, ahir-ahir ini merantau hanya milik orang yang merubah masa depan lewat pekerjaan. Orang yang mencari ilmu seakan bukan perantau. huft. Ini penyempitan makna dari kata Merantau itu sendiri.
Merubah nasib tidak selalu harus lewat pekerjaan, jalur pendidikan lebih menjanjikan. Ilmu kemudian kerja. Orang tua bijak tentu tidak akan keberatan bila anak nya merantau mencari ilmu. Banyak sekali orang tua di era modern ini yang over aktif dalam menentukan tumbuh kembang puteranya. Apa yang dilakukan sang anak tidak murni pemikiran nya. Dia hanya menjalan kan ide Ayah dan bunda nya saja. Tidak lebih. Saya sering melihat dan sengaja mengamati orang tua yang pro aktif, sebagai bahan pelajaran tentunya. Mereka menentukan semua yang akan dilakukan anak-anak nya. Mulai guru ngaji, pembimbing private, sekolah, kampus, hobi, teman sampai istri pun anak harus sami' na wa atho' na. Terus apa fungsi hati dan otak sang anak? Orang tua model kayak gini punya niat baik tapi caranya kurang tepat. Apalagi jika buah hatinya sudah menginjak bangku kuliah, terlalu hati-hati hanya akan membuat mereka punya sikap mengandalkan dan ketergantungan yang luar biasa kepada senior. mereka sarjana tapi tak punya karya. Takut dalam bertindak. Ragu-ragu ketika mengambil keputusan. Tak ubah kerbau yang ditali hidungnya. Hanya bisa berkata IYA dan tak punya kata MENGAPA dalam pikiran nya.
Memberikan izin calon generasi muda untuk merantau adalah tindakan yang bijaksana, menurut saya. Jauh dari orang tua membuat mental seseorang terdidik layak nya baja, mereka akan belajar dari rentetan pengalaman dan kesalahan yang dilakukan selama di negeri orang. Kampoung nan jauh dimato, membuka cakrawala pemikiran sang anak. Dirantau anak-anak akan bertemu dengan berbagai guru, teman, bahasa, mata pelajaran dan pergolakan pemikiran. Generasi muda hendaknya jangan hanya di ajarkan pola pikir hitam-putih saja. Ini hanya akan menutup kesempatan melihat pemikiran alternatif lainnya. Calon pemimpin masa depan Indonesia ini akan menjadi dogmatis dalam berflikir, pilihan nya hanya dua, kalau tidak hitam, putih. kalau tidak benar, salah. Padahal kebenaran itu sendiri bersifat relatif, kesepakatan kaum. Sudut pandang sendiri, sesuai sisi mana yang di ambil. Tasawuf, Fiqih, Pikiran bebas, hukum negara, atau mazhab tertentu. Soe Hok Gie pernah menulis, Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu...Dikawatirkan, orang yang berfikir hitam-putih itu sering kali membenarkan bahkan memutlak kan kebenaran yang dicapainya sendiri. Parahnya lagi mereka dengan enteng menyesatkan hasil pemikiran orang lain. Beda bearti salah. Terlihat di lapangan, Banyak orang pintar dan da'i yang menyampaikan bahwa kemunduran islam dikarena kan pemeluknya tidak lagi mengamalkan qur'an-hadits. Solusinya hanya kembali mengamalkan dua pusaka peninggalan Rasul ini jika ingin maju. Semua sudah ada disana, kata mereka dengan berapi-api. Kesannya sederhana, mudah difahami dan dilaksakan. Tapi, setelah mencoba mempraktek kan nya, mulai ada masalah berkaitan dengan penafsiran, bahasa, konteks ayat, terus islam model siapa yang akan diterapkan mengkaji kitab suci. Sunni-syiah beda, apalagi syiah-wahabi. Mereka berfikir seakan pemilik kebenaran dan menciptakan benar versi golongan mereka. Mungkin kopi yang mereka minum kurang pahit atau piknik nya kurang jauh. Bisa juga buku yang dibaca kurang tebal.
Entah, semua menantang untuk dikaji dan didebatkan. So, izinkan generasi muda kalian merantau, dipaksakan mungkin. Sekali lagi merantau itu keren dan jangan takut merantau. Terimakasih.

3 komentar:
Write komentar

Recommended Posts × +