Bila menengok sisi keberadaannya, Jombang adalah
bagian dari sejarah panjang kedigdayaan kerajaan majapahit. Kerajaan yang berdiri 1293 M setelah
runtuhnya Kerajaan Singosari. Kerajaan yang di motori Raden Wijaya ini, awalnya
mengambil tempat di wilayah Hutan Tarik Disini banyak ditemui Pohon Maja dimana
buahnya terkenal pahit, oleh karena itu dinamakan Majapahit. Raden Wijaya
merupakan menantu Raja Kertanegara lewat jalur Ken Arok, pendiri Kerajaan
Singosari.
Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada dengan
ikrar Sumpah Palapanya berhasil mempersatukan nusantara. Masa ini dapat disebut
sebagai puncak ke emasan kerajaan Majapahit. Majapahit mengalami pasang surut
akibat perebutan tahta di kalangan keluarga raja hingga akhirnya meninggalkan
panggung sejarah nusantara pada abad XV M.
Dikutip dari Wikipedia,
pada masa Kerajaan Majapahit, wilayah yang kini Kabupaten Jombang merupakan
gerbang Majapahit. Gapura barat adalah Desa Tunggorono, Kecamatan Jombang,
sedang gapura selatan adalah Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng.
Oleh karenanya, di jombang banyak nama-nama desa/kecamatan yang
bermula dengan prefiks mojo-, di antaranya Mojoagung, Mojowarno, Mojojejer,
Mojotengah, Mojotrisno, Mojongapit, dan sebagainya.
Pesantren dan perannya
Berangkat dari beberapa literatur, pada tahun 1830
usai perang Diponegoro, salah seorang pasukannya bernama Kyai Abdus Salam, melarikan
diri menuju arah timur. Beliau berhenti di salah satu wilayah bekas gerbang ke
rajaan Majapahit, Jombang. Selanjutnya mendirikan pesantren yang terletak di
sisi timur sungai Tambakberas. Hingga tulisan ini diketik, sisa-sisa bangunan
pesantren awal ini masih ada dan berkembang pesat menjadi Pondok Pesantren
Bahrul Ulum yang megah.
Sampai saat ini, pesantren merupakan
sebuah lembaga pendidikan yang melekat kuat dalam perjalanan kehidupan masyarakat
jombang sejak beratus tahun lalu. Sehingga, Ki Hajar Dewantara pernah
mencita-citakan model pesantren sebagai sistem pendidikan Indonesia. Selain
sudah lama melekat dalam kehidupan di Indonesia, modal ini juga merupakan
kreasi budaya Indonesia, setidak-tidak nya jawa, yang patut dipertahankan dan
dikembangkan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren telah
banyak memberikan andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Jombang
menyumbang banyak tokoh nasional dan hebat nya mereka pernah berproses di
pesantren. Tamsil kecil, Kiyai Hasyim Asy’ari. Kiyai Wahab Hasbullah, Kiyai
Wahid Hasyim, Kiyai Bisri Syamsuri, mantan presiden ke-IV Indonesia bernama
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ada juga budayawan sekaligus kiyai Emha Ainun
Najib dan tidak ketinggalan Intelektual paling fenomena Nur Kholis Majid.
Menurut Nur Kholis Majid, seandainya negeri ini
tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan
mengikuti jalur-jalur yang di tempuh pesantren-pesantren itu. Sehingga
perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa ITB, UGM, UNAIR, IPB,
ataupun yang lain, tetapi mungkin namanya “Universitas” Tremas, Krapyak,
Tebuireng, Lasem, Tambakberas, dan seterusnya.
Kemungkinan ini diambil Cak Nur setelah
mengamati dan membandingkan pertumbuhan sistem pendidikan di negeri-negeri
barat. Banyak sekali Universitas terkenal yang semula beorientasi keagamaan.
Semisal, perguruan tinggi yang didirikan oleh pendeta Harvard yang
telah melahirkan banyak pemimpin yang handal dan luar biasa dalam masanya.
Ketika berkunjung ke Kota Jombang, anda akan
disambut dengan motto yang terpampang gagah di pintu gerbang masuk kota, berdampingan
dengan ucapan selamat datang, Motto tersebut yaitu “Jombang Beriman”. Kota kecil
ini begitu kental nuansa agamisnya. Pesantren yang merupakan lautan ilmu-ilmu
agama berdiri kokoh menghiasi sudut kota. Ditambah lagi sejumlah majelis
perkumpulan kaum sarungan sangat mudah dijumpai di jombang, perkumpulan yang
mewadahi berbagai persoalan agama, Negara dan kegiatan sosial lainnya.
Seperti kita ketahui bersama, organisasi massa
terbesar di Indonesia lahir atas inisiatif kader santri dari jombang bernama
Wahab Chasbullah, atas restu kiyai Kholil bangkalan dan kiyai Hasyim Asy’ari
yang juga pengasuh tebuireng. Organisasi itu bernama Nahdlatul Ulama dalam arti
bebasnya adalah kebangkitan para ulama.
Dalam menghadapi fenomena arus
deras moderinisasai islam, pesantren terlihat menggunakan metode “menolak
sambil mengikuti”. Komunitas pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi
keagamaan kaum reformis. Tetapi disaat yang bersamaan mereka juga melakukan
sejumlah akomodasi dan penyesuaian yang mereka anggap mendukung kontinuitas
pesantren dan umat.
Dalam kaitan ini, jombang di
wakili pesantren Bahrul Ulum tambakberas dan pesantren tebuireng mengambil
tempat paling depan dalam merambah bentuk respon pesantren terhadap ekspansi
pendidikan belanda dan pendidikan islam modern. Dan pada tahun 2016 ini, Bahrul
Ulum yang dipelopori oleh KH Wahab Chasbullah sudah memakai system madrasah
selama satu abad.
Hebatnya, pesantren melakukan
perubahan secara bertahab, perlahan, dan hampir sulit diamati. Para kiyai
secara berlapang dada mengadakan modernisasi lembaga ditengah perubahan
masyarakat khusnya jawa, tanpa meninggal kan sisi positif sistem pendidikan
islam tradisional.
Jombang beruntung pernah memiliki
Menteri Agama sekelas KH. A. Wahid Hasyim dari pesantren Tebuireng, dengan
kebijakannya mencoba menjembatani antara dunia pesantren dengan diluar
pesantren. Tokoh Nadlatul Ulama’ ini melakukan pembaharuan pendidikan agama
islam di Indonesia lewat peraturan menteri agama no 3/1950. Beliau
menginstruksikan pemberian pelajaran umum di madrasah, dan memberi pelajaran
agama di sekolah negeri dan swasta. Dengan kebijakkannya itu, dunia pesantren
tetap relevan dengan perkembangan kebutuhan pendidikan masyarakat dan
dunia luar dapat mengadopsi keunggulan pesantren.
Budaya pesantren dan pembangunan
daerah
Menjadi kan basis pesantren
dengan ribuan santri nya sebagai pondasi pembangunan masyarakat jombang tentu
bukan pilihan yang salah. Patahan sejarah telah membuktikan peran dan pengaruh
pesantren dalam pembangunan nasional sangat lah besar. Dengan ciri khas islam
modern, cinta tanah air dan kemandirian seharusnya pemerintah daerah harus
berpikir ulang jika ingin meninggalkan pesantren dalam proses pembangunan.
Kemandirian pesantren sudah terbukti ratusan tahun berdiri dengan dana swadaya
masyarakat dan kecerdikan pengasuhnya. Tanpa bantuan materil dari pemerintah
saja mereka sanggup berkarya begitu besarnya.
Dijombang ada ratusan pesantren,
taman pendidikan alquran, madrasah diniyah yang menampung jutaan tunas muda,
calon pemimpin masa depan jombang. Dan terdapat jutaan orang yang berstatus
alumni pesantren dengan berbagai profesi dan keahlian masing-masing. Nah,
melihat fenomena ini, maka diperlukan satu niat kuat untuk menyatukan visi-misi
dalam mewujudkan jombang sejahtera untuk semua. Dimana itu berawal dengan budaya
kekeluargaan yang sudah diterapkan pesantren selama ini.
Pesantren memiliki budaya
kemandirian, percaya diri, kekeluargaan, kedalaman ilmu agama dan cinta tanah
air. Ini potensi masyarakat yang harus dirawat dan diarahkan untuk pembangunan
bangsa. Lewat kemandirian, sikap tidak mau berpangku tangan dan bergantung pada
orang lain akan membentuk masyarakat kreatif dan produktif. Pemerintah dalam
hal ini berperan mempermudah izin usaha dan menjaga keamanan tetap kondusif.
Budaya santri juga mendidik
seseorang terbiasa hidup berdampingan dengan saudara dari berbagai belahan
bumi. Santri terbiasa bekerjasama dengan berbagai lapisan masyarakat. Disamping
itu mereka juga punya relasi yang luas dibawah naungan pesantren. So,
menerapkan budaya santri menjadi budaya daerah untuk pembangunan dirasakan
lebih praktis. Kita ambil yang baik dan perbaiki yang kurang baik. Jauh-jauh
hari Gus dur telah mengajarkan kita, Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau
kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah
tanya apa agamamu. Ini juga yang terpatri dalam sikap santri sejati.
Maka sudah waktunya pemerintah
dati II kabupaten Jombang mencari usaha nyata kearah terciptanya satu sintesa
konvergensi atau sinergisitas sehingga dapat dicapai satu kesatuan antara
moralitas-rasionalitas, ruhaniah-jasmaniah, santri yang akademis dan akademisi
yang santri. Pada ahirnya, santri bukan yang mondok saja tapi siapapun yang
berahlak seperti santri dialah santri, seperti ucapannya Gus Mus.
Tak perlu memasang target setinggi langit
layaknya revolusi bolshewik maupun renaissance. Untuk konteks jombang, mungkin
bisa dimulai dengan menjadikan masjid-langgar sebagai titik pijak kajian dan
pergerakan menata pranata-pranata sosial yang lebih cerdas, kritis, humanis, dan
elegan.
Bisa juga dimulai dengan
memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk mengembangkan penalarannya,
sikap kritis, cinta ilmu pengetahuan, kajian-kajian ke ilmuan, serta menambah
buku bacaan diperpustakaan pesantren/sekolah atau melatih mereka menyebarkan
budaya berfikir dan bersikap ala santri lewat media massa yang canggih dan
efektif. Sehingga sintesa yang diinginkan betul-betul menyeluruh, bukan hanya
bersifat artifisial dan utopi.
Sebab, seperti kata Ali Syariati: dalam
lalulintas sejarahnya, musuh agama sebenarnya adalah taghut. Yaitu sebuah
sistem yang melawan kebenaran dan merusak kehidupan manusia; sebuah sistem yang
menimbulkan perbudakan dan berbagai macam berhala. Siapakah pengikut taghut
ini? Mereka adalah para aristokrat kaya, orang-orang serakah yang hidup dalam
kemakmuran dan kemewahan, serta para penguasa yang tak punya rasa tanggung jawa.
Ahir kata, sikap kritis dalam
ranah kehati-hatian tetap harus ada dalam proses ini, supaya tidak ada lagi
oknum-oknum yang memanfaatkan pesantren untuk kepentingan individu maupun
kelompok tertentu. Jangan sampai sikap ikhlas kiyai dengan ribuan massa nya
hanya dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan. Dan pada ahirnya, para ulama
merasa enggan berdekatan dengan penguasa. Alangkah indah bila antara ulama dan
umara’ bersinergi dalam membangun Negara. Baldatun thoyibatun tidak hanya
menjadi wacana dan rentetan cerita fiksi sebelum tidur. Jombang kota beriman.
Tidak ada komentar:
Write komentar