Recent Comments

Rabu, 20 Juli 2016

-Budaya literasi akademisi


Sebuah fakta mengejutkan datang menghampiri insan akademis Indonesia,  Ketua Dewan Pakar Komite Anti Plagiasi (KOAPSI) Abdul Aziz menyatakan pihaknya akan mengajukan praperadilan untuk menggugat Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, Mudjia Rahardjo, atas tuduhan plagiat.
Sedikit menengok kebelakang, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) juga pernah mengalami kejadian serupa hanya beda pemain, Cecep Darmawan, Lena Nuryati, dan Ayi Suherman dosen UPI yang terdeteksi melakukan penjiplakan karya tulis. Mereka bertiga mendapat sanksi tapi tidak berupa pemecatan.
Peristiwa diatas hanya kulit luar dari permasalahan rumit dunia akademis. Tentu ini berpengaruh dalam dunia pendidikan tinggi atau kampus di Indonesia yang merupakan basis utama dalam pengembangan budaya literasi. Terlepas benar dan salah nya kasus di atas yang pasti kejadian ini adalah kejahatan terbesar bagi kaum intelektual.
Dosen dan mahasiswa merupakan ujung tombak untuk membuat pembaruan dalam negeri, para intelektual muda yang dalam hal ini diwakili mahasiswa dituntut untuk aktif menjadi opinion leader melalui publikasi tulisan dan kemampuan berbahasa asing.
Amat disayangkan, Literasi boleh jadi merupakan suatu istilah yang belum begitu akrab di telinga masyarakat. Literasi di dunia kampus yang notabane nya tempat berkumpulnya kaum akademis saja masih sangat rendah tingkat populeritasnya, terkhusus perguruan tinggi yang tidak menjadikan literasi sebagai budaya. Kebanyakan mahasiswa khususnya pendatang kemaren sore, hanya sampai pada tahap korban literaci, terutama literaci media.
Salah satu koran terbesar di Amerika bernama news York times pernah kecolongan masalah plagiat pada bulan april 2003 oleh tindakan salah satu wartawannya bernama Blair. Ia mengangkat cerita Jessica D Lynch salah satu tentara Amerika yang di tahan militer Irak, padahal blair tidak pernah sekali pun mewancarai keluarganya Linch secara langsung maupun lewat telepon. Times diprotes salah satu media cetak yang terbit di texas, pembesar times seperti kebakaran jenggot mendengar kebenaran peristiwa blair, terutama wartawan senior yang telah ikut membesarkan times. Pada ahirnya Blair pun mundur dari times tertanggal 1 mei 2003.
Kini di era wifi, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, mahasiswa tentunya tidak asing lagi dengan istilah copy paste. Terlebih lagi ketika tugas dosen yang datang berjejer rapi setiap hari. Mengcopy karya orang lain dari internet menjadi praktek yang sering dilakukan dalam dunia akademik terutama mahasiswa yang malasnya sudah stadium ahir. Copy paste hanya salah satu bentuknya, kecurangan lain berupa penjiplakan karya tulis, lirik lagu, maupun pencurian ide atau pemikiran. Hal-hal ini bisa kita sebut dengan istilah plagiarisme atau plagiat.
Pemerintah lewat Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menegaskan plagiat adalah kejahatan. Disamping itu, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 tahun 2010 tentang pencegahan plagiat di perguruan tinggi juga membangun argument bahwa plagiat itu dilarang.
Peraturan mengenai tindakan plagiat ini merupakan bukti bahwa tindakan ini adalah tindakan yang bertentangan dengan hukum, namun realita lapangan mengungkapkan tak sedikit menyeret orang-orang terpelajar seperti mahasiswa, yang notabene tahu jelas hal tersebut tidak boleh dilakukan dan parahnya mereka tetep terperangkap dalam kubang hitam dunia akademis.
Oleh karena itu, sebagai kaum intelektual yang mengklaim dirinya terpelajar, seharusnya kemampuan menulis bagi mahasiswa menjadi keahlian wajib. Bukankah sesuatu yang pantas bila dosen dan mahasiswa menghasilkan karya dengan tangannya sendiri, berdasarkan pemikirannya tanpa mengklaim karya orang lain sebagai miliknya, tidak hanya mahasiswa namun juga semua orang yang punya kesempatan sama untuk melakukannya.
Kampus sarana yang paling pas untuk memulai budaya literasi. Perguruan tinggi adalah perpustakaan yang terorganisir oleh tiga unsur yaitu buku, mahasiswa dan dosen. Hubungan yang intim antara dosen sebagai orang yang berilmu tinggi dikelilingi mahasiswa haus ilmu dan di bantu pustaka yang lengkap, akan menjadikan pertalian estafet intelektual. Dan paling menarik adalah sari ke ilmuan menjadi terjaga.
Perlu disadari, penguasaan literasi bagi generasi muda menjadi tulung punggung kemajuan peradaban suatu bangsa. Sulit bagi Indonesia menjadi bangsa yang besar, dengan hanya mengandalkan budaya oral atau ceramah. Wajah masa depan bangsa indonesia salah satunya dapat dilihat dari bagaimana kualitas literasi generasi mudanya, terutama manusia akademis.
Dengan mengaji budaya literasi sejak dini, kita tak perlu khawatir lagi kalau esok mereka akan menjadi penikmat abadi media massa atau korban globalisasi. Budaya literaci kaum akademis bisa dimulai dari lingkup paling kecil seperti mading kamar, buletin, tugas makalah, hingga majalah kampus. Patahan sejarah masa lalu mengingatkan kita akan pentingnya dunia literasi. Sukarno, hatta, sjahril, tan malaka contoh kecil anak bangsa yang sadar penting nya dunia literasi.
Ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola sistem pendidikan yang mencerahkan dan memberdayakan segenap anak bangsa yang potensial dan cerdas dapat teratasi oleh unit kegiatan mahasiswa (UKM), kelompok belajar, organisasi ekstra kampus, yang terbiasa mandiri dalam mengembangkan potensi tunas bangsa.
Salah satu aktivis kampus, Soe Hok Gie pernah berujar saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Ucapan aktivis pecinta alam ini seakan hendak mengajarkan kepada kita bahwa plagiat, mencuri karya orang lain untuk kepentingan pribadi itu hina. Gelar, jabatan dan penghargaan yang didapat lewat kemunafikan akan menumbuhkan kerusakan lebih besar dalam berbagai hal. Lebih baik diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan pekik Soe Hok Gie lantang.
Dengan banyak membaca, pikiran para mahasiswa dapat bergerak dan tercerahkan. Tidak dapat dimungkiri bahwa minat baca mampu mencerdaskan sebuah bangsa, yang merupakan tujuan dari Negara kita. Sedangkan dengan menulis, pikiran para ilmuwan dapat diketahui semua orang dan menjadi bahan pembelajaran yang mencerahkan banyak orang..
Lebih dari itu, membaca dan menulis merupakan aktivitas ringan nan santai tapi dapat membangun peradaban yang sekaligus merawat peradaban itu sendiri. Maka dari itu membudayakan budaya literasi akademisi dengan menggalakan gerakan cinta literasti menjadi kebutuhan mendesak mahasiswa indonesia. Pada ahirnya, cita-cita leluhur kita membina akademisi cerdas dan aktivis yang akademis tidak sekedar tulisan di tembok belaka.
Selamat berkarya,


Ruang inspirasi, IAIBAFA

Tidak ada komentar:
Write komentar

Recommended Posts × +