Sebuah
fakta mengejutkan datang menghampiri
insan akademis Indonesia, Ketua
Dewan Pakar Komite Anti Plagiasi (KOAPSI) Abdul Aziz menyatakan pihaknya akan
mengajukan praperadilan untuk menggugat Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Maulana Malik Ibrahim Malang, Mudjia Rahardjo, atas tuduhan plagiat.
Sedikit
menengok kebelakang, Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) juga pernah mengalami kejadian serupa hanya beda pemain, Cecep
Darmawan, Lena Nuryati, dan Ayi Suherman dosen UPI yang terdeteksi melakukan
penjiplakan karya tulis. Mereka bertiga mendapat sanksi tapi tidak
berupa pemecatan.
Peristiwa diatas hanya kulit luar dari permasalahan
rumit dunia akademis. Tentu ini
berpengaruh dalam dunia pendidikan tinggi atau kampus di Indonesia yang
merupakan basis utama dalam pengembangan budaya literasi. Terlepas benar dan salah nya kasus di atas yang pasti
kejadian ini adalah kejahatan terbesar bagi kaum intelektual.
Dosen dan mahasiswa merupakan ujung tombak untuk membuat pembaruan
dalam negeri, para intelektual muda yang dalam hal ini diwakili mahasiswa
dituntut untuk aktif menjadi opinion leader melalui publikasi tulisan dan
kemampuan berbahasa asing.
Amat
disayangkan, Literasi boleh jadi merupakan suatu
istilah yang belum begitu akrab di telinga masyarakat. Literasi di dunia kampus yang notabane nya tempat
berkumpulnya kaum akademis saja masih sangat rendah tingkat populeritasnya, terkhusus
perguruan tinggi yang tidak menjadikan literasi sebagai budaya. Kebanyakan mahasiswa
khususnya pendatang kemaren sore, hanya sampai pada tahap korban
literaci, terutama literaci media.
Salah satu koran terbesar di Amerika bernama news York times pernah
kecolongan masalah plagiat pada bulan april 2003 oleh tindakan salah satu wartawannya
bernama Blair. Ia mengangkat cerita Jessica D Lynch salah satu tentara Amerika
yang di tahan militer Irak, padahal blair tidak pernah sekali pun mewancarai
keluarganya Linch secara langsung maupun lewat telepon. Times diprotes salah
satu media cetak yang terbit di texas, pembesar times seperti kebakaran jenggot
mendengar kebenaran peristiwa blair, terutama wartawan senior yang telah ikut
membesarkan times. Pada ahirnya Blair pun mundur dari times tertanggal 1 mei
2003.
Kini di era wifi, dimana ilmu
pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, mahasiswa tentunya tidak asing
lagi dengan istilah copy paste. Terlebih lagi ketika tugas dosen yang datang berjejer
rapi setiap hari. Mengcopy karya orang lain dari internet menjadi praktek yang sering dilakukan dalam dunia akademik terutama mahasiswa yang malasnya sudah stadium
ahir. Copy paste hanya salah satu bentuknya, kecurangan lain berupa penjiplakan
karya tulis, lirik lagu, maupun pencurian ide atau pemikiran. Hal-hal ini bisa kita sebut dengan istilah
plagiarisme atau plagiat.
Pemerintah lewat Undang-Undang No.19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta menegaskan plagiat adalah kejahatan. Disamping itu, Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 tahun 2010 tentang pencegahan plagiat di
perguruan tinggi juga membangun argument bahwa plagiat itu dilarang.
Peraturan mengenai
tindakan plagiat ini merupakan bukti bahwa tindakan ini adalah tindakan yang
bertentangan dengan hukum, namun realita lapangan mengungkapkan tak sedikit menyeret
orang-orang terpelajar seperti mahasiswa, yang notabene tahu jelas hal tersebut
tidak boleh dilakukan dan parahnya mereka tetep terperangkap dalam kubang hitam dunia akademis.
Oleh karena itu,
sebagai kaum intelektual yang mengklaim dirinya terpelajar, seharusnya kemampuan menulis bagi mahasiswa menjadi keahlian wajib. Bukankah sesuatu yang
pantas bila dosen dan mahasiswa menghasilkan karya dengan tangannya sendiri, berdasarkan
pemikirannya tanpa mengklaim karya orang lain sebagai miliknya, tidak hanya
mahasiswa namun juga semua orang yang punya kesempatan sama untuk melakukannya.
Kampus sarana yang paling pas untuk memulai budaya
literasi. Perguruan tinggi adalah perpustakaan yang terorganisir oleh tiga
unsur yaitu buku, mahasiswa dan dosen.
Hubungan yang intim antara dosen sebagai orang yang berilmu tinggi dikelilingi mahasiswa
haus ilmu dan di bantu pustaka yang lengkap, akan menjadikan pertalian estafet intelektual. Dan paling menarik adalah sari ke ilmuan menjadi terjaga.
Perlu
disadari, penguasaan literasi bagi generasi muda menjadi
tulung punggung kemajuan peradaban suatu bangsa. Sulit bagi Indonesia menjadi bangsa yang besar, dengan hanya mengandalkan budaya oral atau ceramah. Wajah masa depan bangsa indonesia salah satunya dapat dilihat dari bagaimana kualitas literasi generasi mudanya, terutama manusia akademis.
Dengan
mengaji budaya literasi sejak dini, kita tak perlu khawatir lagi kalau esok mereka akan menjadi penikmat abadi media massa atau korban
globalisasi. Budaya literaci kaum
akademis bisa
dimulai dari lingkup paling kecil seperti mading kamar, buletin, tugas makalah, hingga majalah kampus. Patahan sejarah masa lalu mengingatkan kita
akan pentingnya dunia literasi. Sukarno, hatta, sjahril, tan malaka contoh
kecil anak bangsa yang sadar penting nya dunia literasi.
Ketidakmampuan
pemerintah dalam
mengelola sistem pendidikan yang mencerahkan dan memberdayakan segenap anak
bangsa yang potensial dan cerdas dapat teratasi oleh unit
kegiatan mahasiswa (UKM), kelompok belajar, organisasi ekstra kampus, yang
terbiasa mandiri dalam mengembangkan potensi tunas bangsa.
Salah satu aktivis kampus, Soe Hok Gie pernah berujar
saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang
ingin mencanangkan kebenaran. Ucapan aktivis pecinta alam ini seakan hendak
mengajarkan kepada kita bahwa plagiat, mencuri karya orang lain untuk
kepentingan pribadi itu hina. Gelar, jabatan dan penghargaan yang didapat lewat
kemunafikan akan menumbuhkan kerusakan lebih besar dalam berbagai hal. Lebih
baik diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan pekik Soe Hok Gie lantang.
Dengan banyak membaca, pikiran para mahasiswa dapat bergerak dan tercerahkan. Tidak dapat
dimungkiri bahwa minat baca mampu mencerdaskan sebuah bangsa, yang merupakan
tujuan dari Negara kita. Sedangkan
dengan menulis, pikiran para ilmuwan dapat
diketahui semua orang dan menjadi bahan pembelajaran yang mencerahkan banyak
orang..
Lebih
dari itu, membaca dan menulis merupakan aktivitas ringan nan santai tapi dapat membangun
peradaban yang
sekaligus merawat peradaban itu sendiri. Maka dari itu membudayakan budaya
literasi akademisi dengan
menggalakan gerakan cinta literasti menjadi
kebutuhan mendesak mahasiswa indonesia. Pada ahirnya,
cita-cita leluhur kita membina akademisi cerdas dan aktivis yang akademis tidak
sekedar tulisan di tembok belaka.
Selamat
berkarya,
Ruang inspirasi,
IAIBAFA
Tidak ada komentar:
Write komentar