Recent Comments

Sabtu, 02 Juli 2016

(calon) Mahasiswa [harus] cerdas


Berdasarkan pemaparan Rachmat Wahab, ketua umum SBM PTN, Ada 721.326 calon mahasiswa yang mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri (PTN). 126.804 dianyatakan lulus, menyisakan 594.522 anak muda indonesia yang belum jelas tempat kuliahnya. Hampir semua calon mahasiswa yang mengikuti seleksi was-was dan tegang menunggu pengumuman SBM PTN. Lebih ditakuti dari bahaya laten korupsi dan kekerasan seksual. Mungkin.
 Perguruan tinggi negeri masih diyakini sebagai jalan alternatif yang mampu memberikan lapangan pekerjaan dengan gaji selangit dan jabatan tinggi. Di bantu dengan akses yang luas, nama besar dan banyak nya alumni yang berada dilingkaran elit semakin membuat PTN bak permata indah yang menyihir mata akan bentuk dlohirnya. Padahal perlu diketahui, tidak ada jaminan dari pemerintah, perusahaan, pabrik, dan tempat kerja lainnya akan menerima mahasiswa lulusan PTN tanpa test dan seleksi. Dan pastinya, pihak PTN juga tidak beranimnggaransi mahasiswa nya akan mendapat pekerjaan setelah di wisuda. Jika melihat dari sisi pekerjaan. Tapi, itulah dunia, tampilan luar dan rasa bangga akan selalu menarik manusia untuk mendekat. Bagi anak muda yang lolos SBMPTN, daftar ulang sudah menanti,di ikuti proses selanjutnya yang tidak kalah melelah kan. Ada ospek, pemilihan mata kuliah, mencari ruang yang belum hafal semua, kontrakan baru, beli laptop, dan kegiatan menuju proses belajar di bangku kuliah lainnya. Disisi lain, mereka yang di katagorikan belum beruntung dalam test,punya tiga pilihan hidup. Pertama, mendaftar lagi lewat jalur mandiri dengan dibayangi mengeluarkan pundi-pundi segunung. Kedua, banting setir ke perguruan tinggi swasta (PTS) yang lebih murah dan peluang keterimanya lebih besar. Tapi kualitas dan buruknya manajemen pengeloloan kampus menghantui proses pendaftaran. Ketiga, tidak kuliah dan fokus berkarir dengan skill ala kadar nya. Pilihan yang berat tentunya. Serba bingung. Terbatasnya PTN di indonesia yang pada ahirnya tidak bisa menampung semua calon mahasiswa. Disinilah peluang PTS bermain, berperan sebagai penyelesai masalah yang terjadi setiap tahun. Dulu, sekarang, nanti tanpa kepastian kapan berahirnya. PTS yang terdapat di indonesia cukup banyak sekali, menjamur lebih tepatnya. Mulai dari Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akedemisi, Amik maupun Politeknik dan lain-lainya. Mereka hadir dari pusat kota sampai plosok desa, memberi mimpi baru bagi manusia muda indonesia. Dengan kwalitas yang berbeda pula setiap instansi satu dengan lainnya. Kita tentu tidak meragukan kompetensi PTS sekelas Universitas Trisakti Jakarta, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Universitas Kristen Petra Surabaya. Disamping sudah punya nama besar, sistem kelolanya juga tidak kalah dengan PTN. Kita juga tidak boleh menutup mata, PTS yang kwalitas nya meragukan lebih banyak, hampir merata ada disetiap daerah. Ada ribuan calon pemimpin masa depan indonesia menggantung nasib di PTS. Hal mencolok terjadi antara PTN dan PTS adalah sistem kelolanya. PTN berkaitan langsung dengan kebijakan pemerintah, sedangkan PTS oleh yayasan atau manajemen secara privat. Umumnya, strategi perekrutan mahasiswa di PTS dengan menawarkan biaya murah, proses administrasi mudah dan menjual nama tokoh yang dipanuti. Inilah yang sebenarnya harus diperhatikan oleh pengelola PTS yang sering meremeh kan tata kelola kampus. Semua cara dilakukan untuk menarik mahasiswa. Perlu diketahui, mendirikan kampus bukan seperti membuka lembaga kursus, pelatihan. Sistem manajemen nya pun berbeda jauh dengan sekolah menengah, panti asuhan dan pesantren. Calon peserta didik nya juga bukan kertas kosong yang bisa dicoret-coret dan digiring sesuka hati kemana-mana. Mereka sudah punya pondasi ke ilmuan yang harus dikembangkan. Kita sering menjumpai PTS yang begitu santai ketika akreditasi kampus nya masih C. Manajemen administrasi yang sembrawut. Tidak ada kejelasan tugas antara bagian keuangan, admistrasi umum, pengelola data mahasiswa. Yang rugi tetap mahasiswa nantinya, data yang tidak lengkap berakibatkan nomor induk mahasiswa telat muncul, ijazah yang masih digantung sebab ada nilai hilang dijalan, atau tidak ada kejelasan kalender pendidikan dalam proses perkuliahan. Penyakit yang masih dirawat banyak PTS sampai hari ini. Selain itu, permasalahan elit internal antara pengurus yayasan dengan pihak pengeloloa kampus juga sering terjadi di PTS. Tuntutan yang sedikit memaksa sering dilontarkan pengurus yayasan tanpa diiringi sokongan dana dan kebebasan berkreasi. Atau pihak rektorat yang selalu mendikte setiap langkah para dosen. Karena merasa kampus adalah milik pribadi yang lain numpang hidup saja. Pada ahirnya, mahasiswa kembali jadi korban. Perkuliahan yang terbengkalai akibat dosen malas mengajar, kalau mengajar pun mereka tak bebas. Ada peraturan tak tertulis jika ucapan rektorat adalah sabda. Tidak boleh dikritik dan dilawan, apa lagi sampai mengibarkan bendera perang. Pemecatan jelas menghampiri pelakunya. Amboi, Melihat fenomena diatas tentu kita bepikir begitu susah nya mau kuliah di Indonesia. Rentetan masalah hadir tanpa henti. PTN dengan susahnya seleksi dan mahal nya biaya kuliah, PTS manajemen pengelolan yang carut marut. Alamak, jangan-jangan kita sengaja dibodohkan oleh sistem? Biar mereka kaum kapitalis bebas mengeruk kekayaan Indonesia. Secara sederhana dimana saja kita kuliah pasti ada masalah, namanya saja hidup. Barisan tetek bengek kehidupan tak akan bisa hilang sampai nyawa merengang dari tubuh. Berpikir cerdas dan bebas menjadi kunci sukses mahasiswa masa kini. Jangan sampai pilihan untuk memilih jurusan di bangkukuliah ikut-ikutan teman, dipaksa orang tua atau ikut tren bukan suara hati. Kebebasan memilih menjadi titik awal berproses di perguruan tinggi, swasta maupun negeri. Kita akan terasa enjoy dan melahap semua tugas kuliah jika jiwa kita disana. Dulu, kampus dibesarkan oleh aksi dan kecerdasan mahasiswanya. Berbalik, kini mahasiswa yang berusah mencari kampus untuk membesarkan nama nya. Tidak kah kita sadari, bahwa perguruan tinggi hanyalah benda mati yang butuh digerakkan. Sistem manajeman yang membantu kita memahami satu fak ilmu. Sistem ini tidak akan memberikan manfaat jika hanya terus menunggu digerakkan. Belajar bila ada tugas, membaca saat mau presentasi, turun kemasyarakat hanya sekedar formalitas, semisal nya. Coba alih kan pandangan kita keperpustakaan atau toko buku, amati dan hitung berapa buku yang sudah kita pinjam dan baca. Kemudian tanyakan hati nurani, seberapa penting membaca bagi kita, seberapa aktif kita di kelas dan forum diskusi ke ilmuanjangan kita nanti kuliah hanya menghabiskan waktu dan uang dengan rutinitas yang sama setiap hari, tanpa manfaat. Menikmati proses titik nyaman sebagai mahasiswa kuliah-pulang. So, permasalahan utama calon mahasiswa sebenarnya bukan dimana kita kuliah tapi bagaimana menjalani proses menuju insan akademis, pencipta dan pengabdi. Muspro kuliah dikampus besar negeri tapi bingung apa yang mau di lakukan setelah wisuda. Percuma sarjana sampai strata tiga bila hanya menjadi robot. Tak ada inovasi dan kreasi baru muncul dari proses perkuliahan. Menjilat sana sini demi gaji, manut seperti keledai karena takut miskin dan memilih menjaga jarak dari masyarakat biar berada dititik nyaman. Inikah namanya kaum intelektual? By: NADA Ku Denanyar, kamis, 24 Ramadlan 1437 H/30 Juni 2016

Tidak ada komentar:
Write komentar

Recommended Posts × +